AKAD NIKAH DAN
WALIMATUL ‘URSY
FIKIH
KONTEMPORER
Disampaikan Pada : 24 Oktober 2016
Disusun
Oleh:
Asih
Setiyo Wati (1507015011)
Jourdy
Ramadhan (1507015023)
M.
Hafizh Kamil (1507015031)
Robiatunnada
(1507015040)
Zarike
Ayuhana Putri (1507015058)
Dosen Pembimbing:
H. M. Marifat Iman KH., Dr., M.Ag
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2016
I.
PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup
yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Karakteristik
khusus dari Islam bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti
telah ditentukan syari’atnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya), dan
hikmah yang dikandung dari perintah tersebut. Maka tidak ada satu perintah pun
dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus
seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Maupun yang terkait dengan
ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq, berbakti pada orang
tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain yang tidak memiliki syari’at,
dan hikmahnya.
Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan
perintah Allah SWT untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi
sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syaria’atnya, dan hikmahnya.
Selain itu agama Islam
mengajarkan, perkawinan merupakan peristiwa yang patut disambut dengan rasa
syukur dan gembira. Oleh karena itu, Nabi mengajarkan agar peristiwa perkawinan
dirayakan dengan suatu perhelatan atau walimah. Dalam hal ini walimah merupakan
salah satu bentuk rasa syukur setelah diadakannya akad nikah dengan jamuan
makan bagi para tamu undangan, kerabat dan sanak saudara. Walimah sama artinya dengan perjamuan kawin (sesudah nikah), maksudnya
adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Walimah
diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau sesudahnya atau ketika hari
perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Islam juga telah menentukan
syari’at dalam diadakannya walimah. Oleh karena itu, kami akan
membahas hakikat pelaksanaan akad nikah maupun pelaksanaan walimatul ‘ursy.
II.
PERMASALAHAN
A. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan akad nikah?
2.
Apa saja rukun dan syarat akad nikah?
3.
Apa maksud dari walimatul ‘ursy?
4.
Apa hukum pelaksanaan walimatul ‘ursy?
B. Tujuan Penulisan
1.
Memahami hakikat akad nikah.
2.
Mengetahui rukun dan syarat akad nikah.
3.
Memahami hakikat walimatul ‘ursy.
4.
Memahami hukum pelaksanaan walimatul ‘ursy.
III.
PEMBAHASAN
A. Akad Nikah
Secara
bahasa, kata Aqd (mengikat) berarti kebalikan dari kata al-Hallu (mengurai atau
menyelesaikan). Itu adalah arti kata akad. Kata ini kemudian dipakai untuk
segala sesuatu yang mengikat dalam sebuah transaksi, sebagaimana juga dipakai
daam arti keyakinan yang kokoh. Secara istilah, akad nikah berarti beberapa
ucapan khusus yang keluar dari seseorang, ucapan tersebut memiliki sifat khusus
yang bisa mengikat seorang
perempuan dengan seorang laki-laki.
أِذٌهَب فَقَد
مَلَّكَتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرّانِ
“Bergegaslah,
sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengannya dengan maskawin hafalan
Al-Qur’anmu.”
Akad nikah adalah perikatan hubungan
perkawinan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan di
depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab-qobul. Ijab
diucapkan pihak perempuan, yang menurut kebanyakan fukaha dilakukan oleh
walinya (wakilnya). Dan qobul adalah
pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki. Maskawin tidak mesti sudah
ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebutkan dalam akad dan disertakan
pula barangnya.
Menurut Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974,
pengertian pernikahan yaitu ikatan lahir batin pada seseorang pria dengan
seseorang wanita juga sebagai suami isteri, dengan maksud membuat keluarga
(rumah tangga) yang bahagia serta abadi berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Simbolisasi itu yaitu ijab serta qabul.
B. Rukun dan Syarat Akad Nikah
Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur rukun
akad nikah yaitu:
1.
Mempelai laki-laki dan perempuan.
2.
Wali mempelai perempuan.
3.
Dua orang saksi laki-laki.
4.
Ijab dan Kabul.
Pihak-Pihak yang Melakukan Akad
Seperti halnya dalam akad
pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan
perempuan) diisyaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu telah baligh,
berakal sehat, dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan kecakapan karena gila,
rusak akal atau dibawah umur tamyiz tidak sah melakukan akad. Anak umur 7 tahun
sampai belum baligh dipandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan
akad digantungkan kepada izin walinya.
Mengenai mempelai
perempuan, fukaha madzhab Hanafi
memandang sah, ia melakukan akad sendiri dengan syarat telah baligh dan berakal
sehat serta kawin dengan laki-laki kufu
(seimbang). Apabila suaminya tidak kufu,
dapat dimintakan pembatalan oleh walinya kepada hakim. Menurut pendapat
kebanyakan fukaha, mempelai perempuan
tidak boleh melakukan akad sendiri, harus dilakukan oleh walinya. Ada syarat
yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing.
Seperti telah disebutkan
dalam catatan mengenai perkawinan yang mubah, sekali lagi disini ditekankan
bahwa syarat kecakapan sempurna bagi calon mempelai diperlukan agar maksud dan
tujuan perkawinan dapat tercapai. Bahkan atas dasar pertimbangan
maslahat-mursalah dapat pula diadakan ketentuan umur yang melampaui umur baligh
(sekitar 15 tahun) apabila terdapat motif yang benar-benar dapat diharapkan
akan lebih dapat menyampaikan tercapainya tujuan perkawinan, seperti ketentuan
undang-undang perkawinan yang baru bahwa calon mempelai laki-laki
sekurang-kurangnya mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan
sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
Pernikahan ini hendaklah tepat.Syarat Ijab :
§
Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran.
§
Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
§
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu, seperti nikah mut’ah.
§
Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab
dilafazkan).
Syarat Qobul :
§
Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab.
§
Tiada perkataan sindiran.
§
Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas
sebab-sebab tertentu)
§
Tidak diikatkan dengan tempoh waktu, seperti nikah mut’ah.
§
Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu
qobul dilafazkan).
§
Menyebut nama calon istri.
§
Tidak diselangi dengan perkataan lain.
Sighat Akad
Pada dasarnya akad nikah
dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keringanan
serta dapat dimengeti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh
para saksi. Di Indonesia sering digunakan bahasa Arab dikalangan mereka yang
memahami. Mempergunakan bahasa Indonesia atau bahasa Daerah juga dipandang sah
dan tidak dapat dikatakan bahwa menggunakan bahasa yang satu lebih utama daripada
menggunakan bahasa lain. Pada dasarnya ijab Kabul dilakukan secara lisan. Dalam
hal secara lisan tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf
misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.
Antara ijab dan Kabul
disyaratakan terjadi dalam satu majlis, tidak disela-selai dengan pembicaraan
lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan
akad yang sedang dilakukan. Namun tidak diisyaratkan antara ijab dan Kabul
harus berhubungan langsung. Andaikata setelah ijab dinyatakan oleh wali
mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa
saat tidak segera menyatakan Kabul, baru setelah itu menyatakan kabulnya, ijab
Kabul di pandang sah. Pendapat ini dikemukakan ulama madzhab Hanafi dan
Hambali. Imam Malik berpendapat bahwa Kabul hanya boleh terlambat dalam waktu
amat pendek dari ijab. Ulama-ulama madzhab Syafi’I mensyaratkan harus langsung,
yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab, mempelai laki-laki harus
segera menyatakan kabulnya tanpa antara waktu. Pendapat terakhir ini yang
dipraktikan dikalangan kebanyakan kaum muslimin di Indonesia. Menurut hemat
kami, pendapat ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Hambali sudah memenuhi syarat sah
nya ijab Kabul.
Ada syarat ijab Kabul yang
perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan kepada suatu syarat, disandarkan kepada waktu yang akan datang
atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
Syarat Akad disertai Syarat
Salah satu prinsip
perkawinan dalam Islam seperti disebutkan
dimuka, ialah adanya kebebasan mengajukan syarat dalam akad. Syarat yang
disertai dalam akad yaitu dipandang mengikat apabila tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan ajaran Islam; tidak menghalangkan yang haram dan tidak
mengharamkan yang halal.
Q.S Al Isra: 34
mengajarkan, “… dan penuhilah janji karena janji itu pasti akan dimintai
pertanggung jawaban.” Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain dari
uqbah bin Amir mengajarkan syarat-syarat yang lebih berhak dipenuhi ialah yang
berhubungan dengan perkawinan.
Sunnah Akad Nikah
Para Ulama menyebutkan beberapa hal yang disunnahkan dalam akad nikah:
1.
Sebaiknya dilakukan pada hari Jum’at sore karena pada
hari itu kemungkinan doa terkabul sangatlah besar.
2.
Sebaiknya dilakukan di masjid karena masjid adalah tempat
yang paling penuh berkah.
3.
Didahuli dengan kata penghantar nikah sebagaimana biasa.
Jika penghantar tersebut disertai nasihat seperti bagaimana menggauli dan
menceraikannya dengan baik, itu akan lebih baik.
4.
Jika akad telah selesai, hendaknya segera mendoakan kedua
mempelai dengan do’a:
بَارَكَ اللّهُ لَكَ, وَ بَارَكَ عَلَىكَ, وَ جَمَعَ بَينَكُمَا فِي خَيرٍ
“Semoga Allah memberkati kamu berdua dan mengumpulkanmu dalam kebaikan.”
Rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi sahnya nikah ialah:
a.
Adanya izin dari wali calon istri. Atau izin dari penguasa
negeri apabila tidak ada wali yang sah.
b.
Adanya kerelaan dari si wanita (calon istri). Hal ini
berlaku bagi wanita yang berstatus janda dan telah cukup umur (baligh). Atau seorang gadis (perawan)
yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah
kandungnya sendiri atau ayah dari ayahnya itu (datuknya).
c.
Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai
orang-orang baik. (Yakni yang ‘adil,
bukan fasiq). Apabila keadaan
keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu
memang sangat diperlukan.
d.
Adanya lafal ijab
dan qabul yang bersambungan (tidak
terputus antara keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya).
Ijab dan qabul haruslah dengan lafal “menikahkan”, “mengawinkan” atau dalam
bahasa lain mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan qabul harus
diucapkan oleh dua orang laki-laki dewasa, yakni calon suami dan wali dari
calon istri atau wakil-wakil dari keduanya.
Beberapa Adab Berkaitan dengan Akad Nikah
Diantara adab atau
tata-cara pernikahan yang dianjurkan menurut agama ialah mendahuluinya dengan khitbah (pinangan atau lamaran) yang
diucapkan dihadapan wali dari calon istri. Waktunya hendaknya bukan pada saat si
wanita dalam masa ‘iddah (bagi wanita
yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya yang terdahulu), melainkan setelah
selesainya masa tersebut. Juga, pinangan hendaknya tidak dilakukan terhadap
wanita yang sebelumnya terikat oleh pinangan orang lain yang telah diterima
oleh pihak keluarga wanita tersebut. Hal ini mengingat adanya larangan
“meminang di atas pinangan yang masih berlaku”.
Selain itu, hendaknya
diucapkan khutbah (pidato singkat) sebelum upacara akad nikah, yang didahului
dengan hamdalah. Contohnya: “Segala puji
bagi Allah dan salawat atas Rasulullah. Saya nikahkan Anda dengan putri saya
bernama… (dengan mahar sebesar…)”. Maka si calon suami menjawab: “Segala puji bagi Allah dan salawat atas
Rasulullah. Saya menerima pernikahan dengannya dengan mahar yang telah
disebutkan.”
Mahar (maskawin) hendaknya
tidak memberatkan dan telah disetujui bersama sebelumnya. Di antara
tata-cara yang sangat dianjurkan ialah
menyampaikan hal-ihwal calon suami kepada calon istri (sebelum berlangsung akad
nikah), walaupun ia seorang gadis (perawan). Yang demikian itu diharapkan dapat
menimbulkan keserasian dan keintiman dalam kehidupan berkeluarga antara
suami-istri selanjutnya. Itulah sebabnya ada anjuran (dari Nabi s.a.w) untuk
sebelumnya melihat calon wanita yang akan dikawini, dengan harapan dapat
membantu membuat langgengnya perkawinan.
Dianjurkan pula mengundang
orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang baik-baik disamping kedua orang
saksi yang merupakan rukun pernikahan. Hendaknya pula pernikahan tersebut
diniatkan demi menegakkan sunnah Nabi s.a.w. dan menjaga pandangan mata dari
segala yang diharamkan. Sebaiknya melangsungkan akad nikah di masjid dan di
bulan Syawal. Berkata Aisyah r.a: “Rasulullah s.a.w. melangsungkan akad nikah
dengan aku pada bulan Syawal, kemudian berkumpul serumah dengaku pada bulan
Syawal pula.”
Hikmah Pernikahan
Adapun hikmah dalam pernikahan, yaitu:
a)
Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembang biak dan berketurunan.
b)
Mampu menjaga suami dan istri dari sesuatu yang
diharamkan.
c)
Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa.
d)
Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai tabiat
kewanitaan yang diciptakan.
Tujuan Pernikahan
a)
Untuk memenuhi tuntunan naluri manusia yang asasi.
b)
Untuk membentengi akhlak yang luhur.
c)
Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.
d)
Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
e)
Untuk mencari keturunan yang shalih.
C. Walimatul ‘Ursy
Walimatul ‘ursy atau yang lazim dikenal sebagai pesta
pernikahan, adalah jamuan makan yang diselenggarakan berkenaan dengan
pernikahan. Biasanya walimatul ‘ursy dilaksanakan setelah akad nikah. Kata
walimah berasal dari kata al-walamu yang
dalam bahasa Indonesia bermakna “pertemuan”. Di dalam Kamus Fiqih disebutkan bahwa walimah itu
adalah makanan pernikahan atau semua makanan yang ditujukan untuk disantap para
undangan.
Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik
menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi melihat pada Abdurrahman bin Auf ada
bekas-bekas warna kuning di badannya (ada kebiasaan di kalangan sahabat,
apabila seseorang melaksanakan perkawinan, ia mengenakan wangi-wangian yang
dicampuri akar kayu za’faran yang
berwarna kuning kemerah-merahan), lalu ia bertanya, “Apa itu?” kemudian dijawab
baru saja ia kawin, lalu Nabi mendoakan dan memerintahkan “Selenggarakan
walimah meskipun hanya memotong seekor kambing.”
D.
Hukum Mengadakan Walimah
Kebanyakan fukaha
berpendapat bahwa mengadakan walimah itu sunnah
muakkad, sangat di utamakan. Yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan karena itu
dianjurkan bagi sang suami yang merupakan seorang laki-laki (rasyid) dan wali suami yang bukan rasyid. Pembiayaan pesta pernikahan
harus dibayarkan oleh sang suami. Meskipundemikian, pengadaan pesta pernikahan
harus menyesuaikan kemampuan sang suami, karena tujuan adanya pesta pernikahan
adalah untuk mengembirakan hati kedua pengantin.
Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Ali meminang Fatimah,
Nabi mengatakan, “Perkawinan mesti di rayakan dengan walimah”. Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa ketika mengawini Zainab, beliau
menyelenggarakan walimah dengan menyembelih seekor kambing.
Waktu Walimah
Waktu mengadakan walimah amat bergantung kepada adat
kebiasaan yang berlaku disuatu tempat pada suatu masa tertentu, walimah dapat
diadakan pada waktu akad nikah terjadi atau sesudahnya, dapat pula ketika
terjadi persetubuhan suami dan istri atau sesudahnya.
Tidak ada batasan
tertentu untuk melaksanakannya, namun lebih diutamakan untuk menyelenggarakan
walimatul ‘ursy setelah “dukhul”,
yaitu setelah pengantin melakukan hubungan seksual setelah akad nikah. Menurut
riwayat Bukhari, Nabi mengundang walimah pada perkawinan beliau dengan Zainab
sesudah terjadi hubungan suami istri.
Hukum Menghadiri Walimah
Apabila hukum menyelenggarakan walimah adalah sunnah muakkad, hukum menghadiri walimah
adalah wajib atau fardhu ain. Hadis
Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar mengajarkan, “Apabila salah seorang
diantara kamu diundang menghadiri walimah, hendaklah memenuhinya.”
Imam Bukhori meriwayatkan hadis nabi dari abu Hurairah
yang mengatakan, “Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti
berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Hadits Nabi riwayat Muslim dari
Abu Hurairah mengajarkan apabila salah seorang diantara kamu diundang
menghadiri walimah, hendaklah mengabulkan; apabila sedang berpuasa hendaklah
mendoakan, dan apabila sedang tidak berpuasa makanlah apa yang disajikan.
Syarat-syarat wajib
menghadiri undangan walimah menurut Ibnu Hajar sebagaimana disebutkan dalam
kitabnya Fathul-bari adalah sebagai
berikut:
a.
Pengundangannya adalah orang mukalaf, merdeka,
dan dewasa membelanjakan harta bendanya.
b.
Undangannya tidak hanya ditujukan pada
orang-orang kaya, sedang orang-orang fakir tidak diundang.
c.
Tidak terlihat adanya kecenderungan pihak
pengundang untuk mencari hati seseorang, karena senang atau takut kepadanya (dengan
kata lain, tidak ikhlas dalam penyelenggaraan walimah untuk mengikuti sunah).
d.
Pengundangnya beragama Islam (menurut pendapat
yang lebih kuat).
e.
Walimah yang diselenggarakan pada hari pertama
(apabila penyelenggaraannya lebih dari satu hari).
f.
Tidak
terdapat kemungkaran dalam walimah.
g.
Tidak ada uzur.
Menyelenggarakan walimah
adalah salah satu macam ibadah kepada Allah, mengikuti sunah Rasul. Oleh karena
itu, harus dilaksankan sesuai nilai-nilai ibadah tersebut.
Agar walimah benar-benar
bernilai ibadah, hendaklah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Menyelenggarakan walimah sesuai kemampuan.
2.
Menyelenggarakan walimah dengan ikhlas, untuk ittba’ pada sunah Rasul.
3.
Jika adat-istiadat menyimpang dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam, tidak usah dihidupkan.
4.
Para tamu diberi suguhan hidangan.
5.
Walimah hendaknya diadakan satu kali saja.
Kesalahan Walimatul ‘Ursy
Mennurut hukum Islam ada
beberapa keslahan yang seharusnya tidak boleh terjadi:
ü
Ikhtilah atau bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang tidak
halal atau bukan mahramnya, karena
ditakutkan dapat menimbulkan fitnah.
ü
Menggunakan pakaian yang menampilkan lekukan tubuh yang
dapat menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya, hal tersebut tidaklah diperbolehkan
baik pengantin ataupun undangan.
ü
Pengantin dan tamu berdandan menor dan menggunakan parfum
yang berlebihan yang dapat membangkitkan nafsu.
ü
Berlebih-lebihan dari yang sebagaimana mestinya. Misal:
pesta pernikahan diadakan di sebuah gedung yang mewah dengan makanan yang mewah
dan mengundang band terkenal. Padahal, ia bisa mengadakan pesta pernikahan di
rumah, dan makanan yang dibuat oleh tetangga sekitarnya. Hal inilah yang
dinamakan berlebih-lebihan atau tabzir.
IV.
KESIMPULAN
1.
Secara bahasa,
kata Aqd (mengikat) berarti kebalikan dari kata al-Hallu (mengurai atau
menyelesaikan). Itu adalah arti kata akad. Kata ini kemudian dipakai untuk
segala sesuatu yang mengikat dalam sebuah transaksi, sebagaimana juga dipakai
daam arti keyakinan yang kokoh. Secara istilah, akad nikah berarti beberapa
ucapan khusus yang keluar dari seseorang, ucapan tersebut memiliki sifat khusus
yang bisa mengikat seorang perempuan dengan seorang laki-laki.
2.
Syarat-syarat
perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban bagi suami istri. Sedangkan yang dimaksud syarat perkawinan ialah
syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi
calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qobul.
3.
Walimatul
‘ursy atau yang lazim dikenal sebagai pesta pernikahan, adalah jamuan makan
yang diselenggarakan berkenaan dengan pernikahan. Biasanya walimatul ‘ursy
dilaksanakan setelah akad nikah. Kata walimah berasal dari kata al-walamu yang dalam bahasa Indonesia
bermakna “pertemuan”.
4.
Mengadakan
walimah itu sunnah muakkad, sangat di
utamakan. Yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW dan karena itu dianjurkan bagi sang suami yang
merupakan seorang laki-laki (rasyid)
dan wali suami yang bukan rasyid.
Pembiayaan pesta pernikahan harus dibayarkan oleh sang suami. Meskipundemikian,
pengadaan pesta pernikahan harus menyesuaikan kemampuan sang suami, karena
tujuan adanya pesta pernikahan adalah untuk mengembirakan hati kedua pengantin.
V.
DAFTAR PUATAKA
Al-Ghamidi. Fikih Muslimah.
Jakarta: Aqwam. 2000.
Ismail, Thoriq. Mata Kuliah Menjelang
Pernikahan. Surabaya: Pustaka Progressif. 2004.
Tanjung, Armaidi. Free Sex No! Nikah Yes!. Jakarta: Amzah. 2007.
Googleweblight.com
(diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)
Wikipedia.org/wiki/walimatul
(diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)